Rabu, 30 Juni 2010

Romi & Solidaritas Sahabatnya

Oleh: Oji Faoji
Pada Sabtu 10 April siang lalu, tepatnya setelah jam sekolah selesai, Muhammad Romi, siswa SMPN 2 Anyer, Kabupaten Serang, Banten, keluar dari pintu gerbang sekolahnya yang terletak di Desa Kosambironyok, Kecamatan Anyer. Tidak seperti anak kebanyakan, Romi, putra ke-4 (satu-satunya laki-laki) dari 5 bersaudara, pasangan Asmadi dan Arnati, warga Kampung Baru, Desa Kosambironyok, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang ini, justru digendong teman sekelasnya Agus Setiawan. dan setelah saya ikuti, ternyata Agus secara bergantian dengan Yayan Oktoviani sahabat sekelas lainnya, menggendong Romi dengan berjalan kaki yang jarak dari sekolah ke rumah Romi sekitar 4 kilometer. Cukup jauh, dan pastinya melelahkan untuk Agus dan Yayan.
Mengapa Romi harus digendong? Sedikit saya jelaskan.
Romi kini berusia 14 tahun. Sejak lahir ia sama sekali tidak bisa berjalan. Romi hanya mampu menempuh jarak yang sangat pendek dengan cara merangkak. Ini karena, Romi memiliki kelemahan fisik alias penyandang tuna daksa yang hanya mampu beraktivitas normal dengan tangan kanannya saja, karena kaki kirinya tidak ada, dan tangan kiri dan kaki kanannya lumpuh layu sejak lahir.
Tetapi dengan kondisinya yang sangat lemah itu, ada semangat yang terberuncah dalam dirinya untuk tetap mendapatkan pendidikan formal hingga kini duduk di kelas 1 SMPN 2 Anyer. Di kelasnya, Romi termasuk siswa berprestasi, karena ketekunannya belajar dan motivasinya untuk cerdas. Ia ingin kecerdasannya melebihi kawan-kawannya yang memiliki fisik normal.
Bukan hal mudah untuk Romi bisa mendapatkan pendidikan formal, karena Ibunya Arnati sempat tidak memperbolehkan Romi bersekolah, karena khawatir psikologinya terganggu jika kelak jadi bahan ledekan teman-teman sekelasnya. Romi justru berontak. Ia menangis karena ingin tetap melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi, dan tidak merasa puas jika hanya lulus di bangku sekolah dasar yang terletak di sekitar kediamannya.
Apa yang disebutkan di atas merupakan hasil wawancara dan pendalaman informasi tentang Romi dari sahabat sekelasnya, keluarganya, termasuk dari Kepala SMPN 2 Anyer Syahrudin Hasibuan.
Bahkan Hasibuan, panggilan akrab Syahrudin Hasibuan, Romi sangat peka. Ini diketahui ketika ia menginstruksikan langsung kepada siswanya untuk melakukan bersih-bersih lingkungan di hari Jumat. “Saya lihat, yang paling lebih dulu mengikuti ajakan saya adalah Romi. Ia cepat turun dari kursi yang didudukinya, kemudian merangkak ke luar kelas dan mengambil sampah-sampah yang berserakan untuk dipindahkan ke tempatnya. Saya sempat meneteskan air mata dengan jiwa besar Romi,” ujar Hasibuan belum lama ini.
Ini juga yang kemudian membuat Hasibuan merasa perlu menginformasikan tentang semangat belajar seorang Romi kepada halayak, guna mendapat perhatian semua pihak, terutama pemerintah dan kalangan berpunya, agar meski dengan kondisi fisik yang terlalu banyak kelemahan, Romi tetap bisa mendapatkan pendidikan hingga tingkat lebih tinggi.
Seharusnya, semangat Romi ini menginspirasi kita, terutama generasi muda di bawah atau di atas usianya, akan pentingnya belajar, mendapatkan pendidikan, dan pantang berputus asa, meski secara kasat mata (maaf) tidak ada yang diharapkan dari Romi yang demikian. Ternyata tidak, seorang Romi merasa sangat yakin memiliki harapan hidup ke depan untuk menjadi anak berguna. Dengan ketekunan dan kecerdasannya, mungkin kelak ia salah satu profesor terkemuka tidak hanya mashur di Indonesia, tetapi juga di dunia. Amin.

Arti Solidaritas Sahabat
Ada banyak hal yang patut memotivasi kita dari kisah nyata yang dialami Romi. Selain semangatnya yang menggunung dan tahan banting, ada juga arti solidaritas yang sulit ditemukan di dunia (pada jaman sekarang ini) dari dua sahabat sekelasnya, yaitu Agus dan Yayan.
Seperti pernah disinggung di atas, Agus dan Yayan rela mengorbankan dirinya hanya untuk mendampingi Romi. Bukan hanya mendampingi, tetapi memberikan tumpangan layaknya sarana transportasi. Tumpangan yang dimaksud, keduanya rela menggendong secara bergantian setiap hari dengan jarak dari rumah Romi ke sekolahnya berjarak sekitar 4 kilometer secara gratis dan tanpa pamrih. Ini adalah “tontotan” inspiratif yang menyiratkan tentang pentingnya arti solidaritas dan keikhlasan. Terlebih Agus, ia menggendong Romi sejak mereka sama-sama duduk di bangku sekolah dasar. Artinya hingga sekarang, Agus sudah 7 tahun menggendong Romi, tanpa imbal balik apapun. “Saya ikhlas melakukannya, karena Romi ingin sekolah,” tutur Agus, ketika saya tanya, belum lama ini.

Pelajaran Berharga & Bernilai
Kisah Romi dan sahabatnya (Agus dan Yayan), sekali lagi harus menjadi pelajaran berharga bagi kita. Karena mencari sosok yang sama dengan ketiganya tidak gampang di era globalisasi seperti sekarang ini, dimana setiap diri cenderung senang dengan sendirinya dan apatis terhadap orang lain. Perilaku individualisme secara perlahan sudah menjadi budaya dan sulit untuk dicerabut, karena kadung mengakar kuat.
Atas kegigihan Romi menimba ilmu, dan keikhlasan dua sahabatnya menghantarkan Romi untuk meraih mimpi-mimpinya menjadi seorang cerdas, membuat ketiganya menjadi bernilai. Hingga Kamis (13/5) lalu, bantuan untuk ketiganya terus mengalir.
Pertama unit kegiatan mahasiswa (UKM) KRR PMI Universitas Tirtayasa memberikan bantuan Rp 1,5 juta untuk kelanjutan pendidikan Romi, dan perangkat sekolah untuk ketiganya; kemudian dermawan Malaysia mengirimkan sebuah laptop (komputer jinjing) untuk Romi, agar tangan kanannya yang masih berfungsi bisa mengenalkan dirinya akan teknologi dan informasi. Diterangkan Hasibuan, bantuan terus mengalir, baik dari perusahaan yang ada di sekitar Anyer, donatur yang tidak ingin disebutkan namanya, termasuk dari anggota DPRD Kabupaten Serang yang membangun solidaritas di kalangannya dengan mengumpulkan uang secara kolektif untuk Romi dan sahabatnya. Total dana yang dapat dikumpulkan wakil rakyat itu Rp 2.682.000 dan dari Pemkab Serang melalui Bagian Kesra Kabupaten Serang Rp 2,5 juta. Uang sebesar itu dibagi tiga, yakni untuk Romi Rp 3.682.000 dan untuk dua sahabatnya Rp 1,5 juta, atau masing-masing Rp 750 ribu. Dana itu untuk tabungan pendidikan mereka kelak. Kemudian seorang dokter dari Jakarta juga mengirimkan kursi roda buat Romi. Hanya saja kursi tersebut belum bisa digunakan, karena jalan menuju rumah Romi menanjak dan menurun, sementara di sekolahnya juga tidak mendukung, karena arealnya masih tanah dan belum difasilitasi paving blok.
Terakhir, karena kisah Romi dan sahabatnya ini dinilai sangat inspiratif, Gol A Gong (penulis ternama), dan rekannya ingin mengambil ceritanya menjadi sebuah film yang harapannya mungkin bisa memotivasi generasi muda yang saat ini lebih senang dengan hiruk-pikuk kehidupan yang kurang bermakna untuk lebih baik lagi. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar