Kamis, 01 Juli 2010

TDL Naik, Apindo Ancam Kurangi Karyawan

CILEGON – Kebijakan pemerintah yang menaikan tarif dasar listrik (TDL) untuk pelanggan dengan daya diatas 450 va hingga 900 va per 1 Juli 2010, dinilai memberatkan pelanggan kalangan dunia usaha. Karena dengan kenaikan tersebut perusahaan dipastikan memiliki beban biaya tambahan yang cukup berat.
Ketua Asosiasi Penguasa Indonesia (Apindo) Kabupaten Serang Mustofa mengatakan, Apindo tidak bisa melakukan unjuk rasa untuk menolak kebijakan pemerintah dalam menaikan TDL. Namun Apindo sudah berusaha memberitahukan kepada pemerintah terkait kesulitan-kesulitan yang pasti dialami dunia usaha jika keputusan kenaikan TDL dipaksakan tetap dinaikkan. Karena itu, yang bisa pengusaha lakukan adalah dengan terpaksa mengurangi jumlah karyawan.
“Kenaikan TDL sangat memberatkan. Kami mungkin terpaksa juga harus mengurangi karyawan untuk langkah efisiensi beban biaya yang dikeluarkan sebagai akibat kenaikan tersebut,” ujar Mustofa yang dihubungi, Kamis (1/7).
“Bisa dibayangkan, beban biaya produksi bertambah, gaji karyawan tinggi, dan penjualan hasil produksi justru mengecil. Dari pada bangkrut, yang kami lakukan tentu tidak lain terkecuali mengurangi pekerja untuk bisa bertahan. Itu pun pasti angka produksi akan menurun,” Mustofa menegaskan.
Selain itu, kata Mustofa, sebagai imbas dari kenaikan TDL ini, Apindo juga akan kembali mendesak pemerintah untuk menghapuskan politik damping yang artinya tidak boleh lagi diberlakukan di Inonesia, pengusaha luar negeri yang menjual hasil produk yang lebih murah dari yang dijualnya di Negara sendiri. “Seperti China. Mereka bisa menjual hasil produk lebih rendah di Indonesia dari pada hasil produksi dalam negeri. Sementara mereka menjual hasil produk di negaranya lebih tinggi. Pemerintah harus menghapuskan praktik politik damping semacam itu kalau ingin perusahaan dalam negeri bisa bertahan,” ujar Mustofa seraya mengatakan, penghapusan politik damping itu akan didesak agar dilakukan pada tanggal 17 Juli ini.
Pemerintah China menghapuskan beban pajak bagi pengusaha yang ingin menjual hasil produksinya di luar negeri, termasuk di Indonesia. Itu, kata Mustofa, yang membuat pengusaha China bisa bertahan. “Sementara di Indonesia, pemerintah justru banyak membebani pengusaha dalam negeri, salah satunya dengan menaikkan TDL,” Mustofa menegaskan.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua BIdang Kehumasan BPC Perhimpunan Hotel Indonesia (PHRI) Kabupaten Serang Agus Jaenal mengatakan, perngusaha perhotelan juga merasa berat dengan kebijakan kenaikkan TDL ini. Sebab, katanya, beban biaya yang akan dikeluarkan lebih tinggi dari pemasukan yang diterima, terlebih pariwisata tidak bisa berproduksi setiap hari. “Jelas memberatkanlah. Tapi mau bagaimana lagi,” ujar Agus.
Agus justru menyesalkan sikap PLN yang tidak konsisten karena di sekitar obyek wisata Pantai Anyer Rabu (30/6), atau sehari sebelum TDL ditetapkan, listrik padam sejak pagi hingga sore hari. “Paling kami hanya bisa melakukan efisiensi. Kalau menaikan tarif juga sulit, karena akan berpengaruh terhadap tingkat kunjungan,” ujar Agus.
Sekretaris BPC PHRI Kabupaten Serang Sukirman juga mengatakan hal serupa. Katanya, dalam waktu dekat PHRI akan berkumpul khusus untuk membahas kenaikan TDL ini. (oji)

Pendeteksi Bencana Masih Minim

CILEGON – Potensi bencana di Kota Cilegon dari mulai bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, hingga bencana industri kimia cukup besar. Namun demikian, alat pendeteksi keselamatan yang dimiliki Pemkot Cilegon masih terbilang minim.
Pengurus Kantor Pusat Pengendali dan Operasi (Pusdalop) alias Crisis Center Cilegon Rasmi Widyani, yang juga Kabid Pengendalian Lingkungan Hidup pada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Cilegon saat dikonfirmasi membenarkan hal tersebut. Menurutnya pusdalop adalah organisasi yang bertanggung jawab sebagai pengelola informasi, sekaligus berfungsi sebagai pengendali koordinasi antara instansi dan lembaga, baik pemerintah maupun masyarakat untuk penanganan bencana di Cilegon. Di antaranya bertugas melakukan pengawasan proaktif terhadap status potensi bencana melalui alat pengawasan bencana dan sumber informasinya. “Kami akui memang alat pendeteksi bencana seperti CCTV (closed circuit television) dan sirine masih kurang, dan lebih banyak tentu lebih baik. Karena itu perlu juga kerjasama dari indsutri,” ujar Rasmi, Kamis (1/7).
Menurut Rasmi, untuk sirine saja idealnya perlu banyak dan ditempatkan disejumlah titik strategis dan saat ini baru dibangun dua unit yang bisa dikendalikan dari Pusdalop Cilegon dan terintegrasi dengan pusat pengendai tsunami di Cikarang Bekasi. Dua sirine itu dibangun di BCS Kecamatan Grogol, dan di dekat SMPN 9 Ciwandan. Sementara untuk CCTV baru ada satu dari 9 titik yang direncanakan. “Sirine berfungsi untuk peringatan ketika ada bencana industri maupun tsunami, sedangkan CCTV untuk memantau secara langsung kondisi industri. Sebab, apabila ada insiden di industri, baik kecil maupun besar bisa cepat ditanggapi,” tutur Rasmi.
Sebelumnya diberitakan, bencana industri kimia di Kota Cilegon patut diwaspadai. Tindakan kewaspadaan perlu dilakukan secara sinergis dan terkoordinasi.
Ketua CMA Chemical Manufactures Association (CMA) Utun Sutrisna menyebutkan, potensi ancaman bencana selalu ada. Karena itu, industri kimia perlu selalu mengurangi risiko aktivitas sekecil mungkin, misalnya dengan penerapan teknologi yang mendahulukan keamanan operasi, pelaksanaan prosedur kerja yang aman dan lainnya. (oji)