Rabu, 30 Juni 2010

Egosentris Wakil Rakyat

Oleh : Oji Faoji
Teringat ketika dalam perjalanan menggunakan taxi bersama keluarga dari Anyer Kabupaten Serang, menuju Menes Kabupaten Pandeglang, melalui jalur wisata Pantai Carita. Dari sekian banyak perbincangan yang tak berfokus dan sering berganti topik, tiba-tiba sopir mengatakan, “Jalan ini yang begini ini, karena ulah mobil itu tuh,” ujar sopir taxi, sebut saja Suhandi, kepada saya. Dengan spontan, mata saya pun tertuju pada sebuah mobil semi jeep warna hitam dengan nomor polisi bercat merah yang dimaksud sopir.
Saya berpkir tentang apa makna dibalik yang disampaikan pak sopir itu. Namun tidak lama kemudian, saya mulai menyadari bahwa yang dikemukakannya itu berupa sindiran.
Entah kepada siapa sindiran itu dialamatkan. Yang pasti, kendaraan berpelat nomor merah itu merupakan kendaraan inventaris bagi pejabat pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif.
Pak sopir taxi secara tiba-tiba melontarkan sindiran tersebut, karena mungkin merasa lelah mengendalikan kendaraannya di ruas jalan pariwisata yang sangat rusak parah, dan mungkin pantas jika ada yang menyebut jalan itu mirip kubangan kerbau. Saya mencoba menafsirkan kalimat pendek yang diungkapkan sopir yang membawa kami itu, seperti ini.
Dimana pemerintah dalam hal ini pejabat yang diberikan kepercayaan melaksanakan kegiatan pembangunan, termasuk jalan, tidak melaksanakan tugasnya secara optimal. Anggaran besar untuk alokasi pembangunan yang diambil dari hasil keringat rakyat melalui pajak dan retribusi sejumlah objek pun, disinyalir banyak yang tidak seutuhnya digunakan untuk kegiatan pembangunan. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pihak yang memanfaatkan jabatannya hanya untuk mengkorupsi uang rakyat, melalui APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah).
Salah atau tidak penafsiran saya atas pernyataan pendek sopir taxi tadi, bukan merupakan persoalan. Karena yang menjadi persoalan sesungguhnya adalah bagaimana menghentikan praktik korupsi yang selama ini terus terkuak. Terlebih perilaku korupsi baru-baru ini kita ketahui, yang sudah menggurita di lembaga hukum, seperti kepolisian, pengadilan dan kehakiman. Ini sebuah fakta yang sungguh miris dan ironis.Wakil Rakyat Minta Mobil
Disini saya tidak ingin berbicara jauh tentang korupsi, tetapi lebih menyinggung pada sikap pejabat, dalam hal ini wakil rakyat yang mulai menunjukkan sikap egosentris dan ketidakjujuran kepada tuannya (rakyat). Satu di antara sikap egosentris itu ditunjukkan dengan banyak meminta fasilitas yang dibiayai oleh uang rakyat melalui APBD. Wakil rakyat atau anggota DPRD Provinsi Banten baru-baru ini sudah secara terang-terangan meminta untuk dibelikan fasilitas mobil dinas. Karena total anggota DPRD yang ada sebanyak 85 orang, jika semuanya mendapatkan mobil dengan harga Rp 150 juta-an saja, maka rakyat harus merogoh uangnya yang dititipkan melalui APBD Banten sebesar Rp 12,7 miliar. Hal itu sungguh ironis, terlebih seperti ditulis di media massa Banten Raya Post, halaman 5, edisi Rabu (12/5), seorang anggota DPRD Provinsi Banten mengatakan, seluruh anggota DPRD Banten layak mendapatkan fasilitas mobil dinas karena wilayah kerjanya yang luas. Selain itu, katanya, tidak ada yang salah dengan permintaan itu (mobil dinas), karena APBD Provinsi Banten sudah mencapai Rp 2 triliun. Anggota DPRD tersebut juga seperti iri terhadap pejabat eselon IV di Pemprov Banten yang sudah mendapat fasilitas mobil dinas.
Saya berpendapat, DPRD Banten telah lupa bahwa dana APBD itu bukan milik lembaga Provinsi Banten, tetapi merupakan titipan dari rakyat yang seharusnya digunakan untuk memprioritaskan pemenuhan kebutuhan rakyat dan tidak untuk memenuhi kepentingan pribadi mereka.
Saya berani katakan wakil rakyat menunjukkan ketidakjujurannya kepada rakyat adalah ketika ingin dipilih pada masa kampanye. Dengan “merengek-rengek” minta simpati, calon wakil rakyat (mungkin termasuk yang saat ini sedang duduk di kursi DPRD) dipastikan sama sekali tidak pernah melontarkan kata-kata selain janji kepada rakyat bahwa ia akan pro kepada rakyat, mementingkan hak rakyat daripada kepentingan dirinya, dan kata-kata lain sejenisnya.
Ketika masih menjadi calon, wakil rakyat pasti berat mengatakan bahwa setelah jadi nanti, ia akan meminta sejumlah fasilitas yang menjadi haknya sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk mobil dinas, sejumlah pakaian yang nilainya jutaan rupiah per set, tunjangan komunikasi, tunjangan kesehatan, tunjangan perumahan, dan lain-lain.
DPRD Kabupaten Serang juga sama. Kini empat pimpinan akan mendapat mobil baru. Dan ironisnya, keempatnya mendisposisikan untuk dibelikan Honda CRV sebagai kendaraan dinas mereka. Setelah diketahui, Honda CRV ini merupakan mobil termahal dari dua pilihan lain yang diajukan panitia, yakni Suzuki Grand Vitara, dan Nissan Xtrail. Tidak tanggung-tanggung, dana yang harus disediakan untuk pembelian 4 mobil itu Rp 1,5 miliar. Padahal tiga pimpinan, yakni ketua DPRD masih menggunakan Toyota Camry dan dua wakilnya menggunakan Toyota Altis. Mereka ingin mobil sedan mewah itu diganti, dengan alasan sudah tua. Padahal menurut kabar, baru dibeli sekitar 5 atau 6 tahun lalu dan kondisinya juga masih mulus, meskipun warisan pimpinan DPRD periode sebelumnya. Untuk satu wakil ketua memang dinilai pantas karena sama sekali belum menggunakan fasilitas mobil dinas.
Sejumlah protes yang dilayangkan masyarakat, baik melalui unjuk rasa, maupun dialog langsung, tidak ditanggapi. Dan justru rencana pembelian mobil dinas tersebut dalam proses, dan menunggu selesai balik nomor kendaraan, dari umum, menjadi milik pemerintah (plat merah).
Saya melihat sangat wajar jika masyarakat termasuk elemen mahasiswa melayangkan penolakan, karena sejumlah infrastruktur, sarana dan prasarana yang ada, seperti jalan, jembatan, pendidikan, dan kesehatan, masih carut marut dan membutuhkan dana besar untuk menanggulanginya.
Untuk Provinsi Banten misalnya, di sana sini masih banyak ruas jalan, jembatan dan irigasi, yang menjadi kewenangan provinsi dalam hal pemeliharaan, perbaikan, maupun pembangunannya, dikeluhkan masyarakat, seperti Jalan Cikande-Rangkasbitung, jalur wisata Cilegon-Carita (yang disinggung sopir taxi di atas), dan lain sebagainya. Menurut saya, mestinya DPRD belum dulu banyak meminta, sebelum memberikan yang rakyat harapkan, terlebih kinerjanya hingga kini belum genap satu tahun. Artinya, keberpihakan untuk rakyatnya juga belum terlihat maksimal.
Kemudian untuk di Kabupaten Serang. Saat ini seluruh stakeholder pendidikan bingung menyikapi tentang masih banyaknya ruang kelas yang rusak. Belum lagi sekolah dasar (SD) yang kurang memiliki ruang kelas (yang seharusnya 6 kelas hanya ada 3 kelas, atau 4 kelas).
Seperti di SDN Babakan Masjid, Kecamatan Pamarayan, Kabupaten Serang, 163 siswanya dari kelas 1 hingga kelas 6, belajar di tiga kelas yang sama, dengan cara setiap kelas disekat dan diisi siswa kelas 1 dan 2, dan begitu seterusnya, termasuk kelas 5 dan kelas 6. Bagaimana akan terbentuk generasi berprestasi jika sarana pendidikan yang mereka rasakan tidak ideal. Dan berdasarkan catatan bahwa masih ada 443 sekolah dasar yang mengalami kekurangan ruang kelas. Total kekurangan dari jumlah SD tersebut, sebanyak 459 ruang kelas.
Kondisi buruk yang dialamai stake holder pendidikan di semua daerah yang masih memiliki bangunan sekolah rusak, tahun ini adalah dana alokasi khusus (DAK) yang biasanya ditetapkan pemerintah pusat bisa untuk rehab SD, kini tidak. Alokasi DAK tahun ini untuk membuat gedung perpustakaan, dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, dan untuk pengembangan IT. Pertanyaannya kemudian, dari mana dana untuk membangun ruang kelas yang kurang dan merehab ruang kelas yang rusak? Hingga kini tidak ada jawaban yang memuaskan. Siswa dan guru yang belajar dan mengajarnya masih di bangunan rusak, harus bersabar hingga mungkin bangunan sekolah ambruk karena kondisi kerusakannya teramat parah, karena APBD Pemkab Serang minim, pemprov tidak memberikan bantuan rehab SD, progam DAK juga bukan untuk itu.
Kalau saja wakil rakyat baik Provinsi Banten maupuan Kabupaten Serang mau bersabar untuk tidak dulu mengalokasikan dana untuk membeli atau mengganti mobil dinas, tetapi dialokasikan untuk bangunan SD, maka berapa ratus gedung SD yang bisa dibangun jika dana pembelian mobil dinas DPRD Rp 12, 7 miliar (semisal tersebut di atas), ditambah dana penggantian mobil pimpinan DPRD Kabupaten Serang Rp sebesar 1,5 miliar. Namun saya tidak yakin mereka (DPRD) mau melakukan itu. Minimal mereka beralasan, sudah tanggung teralokasikan dalam APBD. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar