Kamis, 01 Juli 2010

TDL Naik, Apindo Ancam Kurangi Karyawan

CILEGON – Kebijakan pemerintah yang menaikan tarif dasar listrik (TDL) untuk pelanggan dengan daya diatas 450 va hingga 900 va per 1 Juli 2010, dinilai memberatkan pelanggan kalangan dunia usaha. Karena dengan kenaikan tersebut perusahaan dipastikan memiliki beban biaya tambahan yang cukup berat.
Ketua Asosiasi Penguasa Indonesia (Apindo) Kabupaten Serang Mustofa mengatakan, Apindo tidak bisa melakukan unjuk rasa untuk menolak kebijakan pemerintah dalam menaikan TDL. Namun Apindo sudah berusaha memberitahukan kepada pemerintah terkait kesulitan-kesulitan yang pasti dialami dunia usaha jika keputusan kenaikan TDL dipaksakan tetap dinaikkan. Karena itu, yang bisa pengusaha lakukan adalah dengan terpaksa mengurangi jumlah karyawan.
“Kenaikan TDL sangat memberatkan. Kami mungkin terpaksa juga harus mengurangi karyawan untuk langkah efisiensi beban biaya yang dikeluarkan sebagai akibat kenaikan tersebut,” ujar Mustofa yang dihubungi, Kamis (1/7).
“Bisa dibayangkan, beban biaya produksi bertambah, gaji karyawan tinggi, dan penjualan hasil produksi justru mengecil. Dari pada bangkrut, yang kami lakukan tentu tidak lain terkecuali mengurangi pekerja untuk bisa bertahan. Itu pun pasti angka produksi akan menurun,” Mustofa menegaskan.
Selain itu, kata Mustofa, sebagai imbas dari kenaikan TDL ini, Apindo juga akan kembali mendesak pemerintah untuk menghapuskan politik damping yang artinya tidak boleh lagi diberlakukan di Inonesia, pengusaha luar negeri yang menjual hasil produk yang lebih murah dari yang dijualnya di Negara sendiri. “Seperti China. Mereka bisa menjual hasil produk lebih rendah di Indonesia dari pada hasil produksi dalam negeri. Sementara mereka menjual hasil produk di negaranya lebih tinggi. Pemerintah harus menghapuskan praktik politik damping semacam itu kalau ingin perusahaan dalam negeri bisa bertahan,” ujar Mustofa seraya mengatakan, penghapusan politik damping itu akan didesak agar dilakukan pada tanggal 17 Juli ini.
Pemerintah China menghapuskan beban pajak bagi pengusaha yang ingin menjual hasil produksinya di luar negeri, termasuk di Indonesia. Itu, kata Mustofa, yang membuat pengusaha China bisa bertahan. “Sementara di Indonesia, pemerintah justru banyak membebani pengusaha dalam negeri, salah satunya dengan menaikkan TDL,” Mustofa menegaskan.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua BIdang Kehumasan BPC Perhimpunan Hotel Indonesia (PHRI) Kabupaten Serang Agus Jaenal mengatakan, perngusaha perhotelan juga merasa berat dengan kebijakan kenaikkan TDL ini. Sebab, katanya, beban biaya yang akan dikeluarkan lebih tinggi dari pemasukan yang diterima, terlebih pariwisata tidak bisa berproduksi setiap hari. “Jelas memberatkanlah. Tapi mau bagaimana lagi,” ujar Agus.
Agus justru menyesalkan sikap PLN yang tidak konsisten karena di sekitar obyek wisata Pantai Anyer Rabu (30/6), atau sehari sebelum TDL ditetapkan, listrik padam sejak pagi hingga sore hari. “Paling kami hanya bisa melakukan efisiensi. Kalau menaikan tarif juga sulit, karena akan berpengaruh terhadap tingkat kunjungan,” ujar Agus.
Sekretaris BPC PHRI Kabupaten Serang Sukirman juga mengatakan hal serupa. Katanya, dalam waktu dekat PHRI akan berkumpul khusus untuk membahas kenaikan TDL ini. (oji)

Pendeteksi Bencana Masih Minim

CILEGON – Potensi bencana di Kota Cilegon dari mulai bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, hingga bencana industri kimia cukup besar. Namun demikian, alat pendeteksi keselamatan yang dimiliki Pemkot Cilegon masih terbilang minim.
Pengurus Kantor Pusat Pengendali dan Operasi (Pusdalop) alias Crisis Center Cilegon Rasmi Widyani, yang juga Kabid Pengendalian Lingkungan Hidup pada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Cilegon saat dikonfirmasi membenarkan hal tersebut. Menurutnya pusdalop adalah organisasi yang bertanggung jawab sebagai pengelola informasi, sekaligus berfungsi sebagai pengendali koordinasi antara instansi dan lembaga, baik pemerintah maupun masyarakat untuk penanganan bencana di Cilegon. Di antaranya bertugas melakukan pengawasan proaktif terhadap status potensi bencana melalui alat pengawasan bencana dan sumber informasinya. “Kami akui memang alat pendeteksi bencana seperti CCTV (closed circuit television) dan sirine masih kurang, dan lebih banyak tentu lebih baik. Karena itu perlu juga kerjasama dari indsutri,” ujar Rasmi, Kamis (1/7).
Menurut Rasmi, untuk sirine saja idealnya perlu banyak dan ditempatkan disejumlah titik strategis dan saat ini baru dibangun dua unit yang bisa dikendalikan dari Pusdalop Cilegon dan terintegrasi dengan pusat pengendai tsunami di Cikarang Bekasi. Dua sirine itu dibangun di BCS Kecamatan Grogol, dan di dekat SMPN 9 Ciwandan. Sementara untuk CCTV baru ada satu dari 9 titik yang direncanakan. “Sirine berfungsi untuk peringatan ketika ada bencana industri maupun tsunami, sedangkan CCTV untuk memantau secara langsung kondisi industri. Sebab, apabila ada insiden di industri, baik kecil maupun besar bisa cepat ditanggapi,” tutur Rasmi.
Sebelumnya diberitakan, bencana industri kimia di Kota Cilegon patut diwaspadai. Tindakan kewaspadaan perlu dilakukan secara sinergis dan terkoordinasi.
Ketua CMA Chemical Manufactures Association (CMA) Utun Sutrisna menyebutkan, potensi ancaman bencana selalu ada. Karena itu, industri kimia perlu selalu mengurangi risiko aktivitas sekecil mungkin, misalnya dengan penerapan teknologi yang mendahulukan keamanan operasi, pelaksanaan prosedur kerja yang aman dan lainnya. (oji)

Rabu, 30 Juni 2010

Egosentris Wakil Rakyat

Oleh : Oji Faoji
Teringat ketika dalam perjalanan menggunakan taxi bersama keluarga dari Anyer Kabupaten Serang, menuju Menes Kabupaten Pandeglang, melalui jalur wisata Pantai Carita. Dari sekian banyak perbincangan yang tak berfokus dan sering berganti topik, tiba-tiba sopir mengatakan, “Jalan ini yang begini ini, karena ulah mobil itu tuh,” ujar sopir taxi, sebut saja Suhandi, kepada saya. Dengan spontan, mata saya pun tertuju pada sebuah mobil semi jeep warna hitam dengan nomor polisi bercat merah yang dimaksud sopir.
Saya berpkir tentang apa makna dibalik yang disampaikan pak sopir itu. Namun tidak lama kemudian, saya mulai menyadari bahwa yang dikemukakannya itu berupa sindiran.
Entah kepada siapa sindiran itu dialamatkan. Yang pasti, kendaraan berpelat nomor merah itu merupakan kendaraan inventaris bagi pejabat pemerintahan, baik eksekutif maupun legislatif.
Pak sopir taxi secara tiba-tiba melontarkan sindiran tersebut, karena mungkin merasa lelah mengendalikan kendaraannya di ruas jalan pariwisata yang sangat rusak parah, dan mungkin pantas jika ada yang menyebut jalan itu mirip kubangan kerbau. Saya mencoba menafsirkan kalimat pendek yang diungkapkan sopir yang membawa kami itu, seperti ini.
Dimana pemerintah dalam hal ini pejabat yang diberikan kepercayaan melaksanakan kegiatan pembangunan, termasuk jalan, tidak melaksanakan tugasnya secara optimal. Anggaran besar untuk alokasi pembangunan yang diambil dari hasil keringat rakyat melalui pajak dan retribusi sejumlah objek pun, disinyalir banyak yang tidak seutuhnya digunakan untuk kegiatan pembangunan. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak pihak yang memanfaatkan jabatannya hanya untuk mengkorupsi uang rakyat, melalui APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah).
Salah atau tidak penafsiran saya atas pernyataan pendek sopir taxi tadi, bukan merupakan persoalan. Karena yang menjadi persoalan sesungguhnya adalah bagaimana menghentikan praktik korupsi yang selama ini terus terkuak. Terlebih perilaku korupsi baru-baru ini kita ketahui, yang sudah menggurita di lembaga hukum, seperti kepolisian, pengadilan dan kehakiman. Ini sebuah fakta yang sungguh miris dan ironis.Wakil Rakyat Minta Mobil
Disini saya tidak ingin berbicara jauh tentang korupsi, tetapi lebih menyinggung pada sikap pejabat, dalam hal ini wakil rakyat yang mulai menunjukkan sikap egosentris dan ketidakjujuran kepada tuannya (rakyat). Satu di antara sikap egosentris itu ditunjukkan dengan banyak meminta fasilitas yang dibiayai oleh uang rakyat melalui APBD. Wakil rakyat atau anggota DPRD Provinsi Banten baru-baru ini sudah secara terang-terangan meminta untuk dibelikan fasilitas mobil dinas. Karena total anggota DPRD yang ada sebanyak 85 orang, jika semuanya mendapatkan mobil dengan harga Rp 150 juta-an saja, maka rakyat harus merogoh uangnya yang dititipkan melalui APBD Banten sebesar Rp 12,7 miliar. Hal itu sungguh ironis, terlebih seperti ditulis di media massa Banten Raya Post, halaman 5, edisi Rabu (12/5), seorang anggota DPRD Provinsi Banten mengatakan, seluruh anggota DPRD Banten layak mendapatkan fasilitas mobil dinas karena wilayah kerjanya yang luas. Selain itu, katanya, tidak ada yang salah dengan permintaan itu (mobil dinas), karena APBD Provinsi Banten sudah mencapai Rp 2 triliun. Anggota DPRD tersebut juga seperti iri terhadap pejabat eselon IV di Pemprov Banten yang sudah mendapat fasilitas mobil dinas.
Saya berpendapat, DPRD Banten telah lupa bahwa dana APBD itu bukan milik lembaga Provinsi Banten, tetapi merupakan titipan dari rakyat yang seharusnya digunakan untuk memprioritaskan pemenuhan kebutuhan rakyat dan tidak untuk memenuhi kepentingan pribadi mereka.
Saya berani katakan wakil rakyat menunjukkan ketidakjujurannya kepada rakyat adalah ketika ingin dipilih pada masa kampanye. Dengan “merengek-rengek” minta simpati, calon wakil rakyat (mungkin termasuk yang saat ini sedang duduk di kursi DPRD) dipastikan sama sekali tidak pernah melontarkan kata-kata selain janji kepada rakyat bahwa ia akan pro kepada rakyat, mementingkan hak rakyat daripada kepentingan dirinya, dan kata-kata lain sejenisnya.
Ketika masih menjadi calon, wakil rakyat pasti berat mengatakan bahwa setelah jadi nanti, ia akan meminta sejumlah fasilitas yang menjadi haknya sesuai ketentuan yang berlaku, termasuk mobil dinas, sejumlah pakaian yang nilainya jutaan rupiah per set, tunjangan komunikasi, tunjangan kesehatan, tunjangan perumahan, dan lain-lain.
DPRD Kabupaten Serang juga sama. Kini empat pimpinan akan mendapat mobil baru. Dan ironisnya, keempatnya mendisposisikan untuk dibelikan Honda CRV sebagai kendaraan dinas mereka. Setelah diketahui, Honda CRV ini merupakan mobil termahal dari dua pilihan lain yang diajukan panitia, yakni Suzuki Grand Vitara, dan Nissan Xtrail. Tidak tanggung-tanggung, dana yang harus disediakan untuk pembelian 4 mobil itu Rp 1,5 miliar. Padahal tiga pimpinan, yakni ketua DPRD masih menggunakan Toyota Camry dan dua wakilnya menggunakan Toyota Altis. Mereka ingin mobil sedan mewah itu diganti, dengan alasan sudah tua. Padahal menurut kabar, baru dibeli sekitar 5 atau 6 tahun lalu dan kondisinya juga masih mulus, meskipun warisan pimpinan DPRD periode sebelumnya. Untuk satu wakil ketua memang dinilai pantas karena sama sekali belum menggunakan fasilitas mobil dinas.
Sejumlah protes yang dilayangkan masyarakat, baik melalui unjuk rasa, maupun dialog langsung, tidak ditanggapi. Dan justru rencana pembelian mobil dinas tersebut dalam proses, dan menunggu selesai balik nomor kendaraan, dari umum, menjadi milik pemerintah (plat merah).
Saya melihat sangat wajar jika masyarakat termasuk elemen mahasiswa melayangkan penolakan, karena sejumlah infrastruktur, sarana dan prasarana yang ada, seperti jalan, jembatan, pendidikan, dan kesehatan, masih carut marut dan membutuhkan dana besar untuk menanggulanginya.
Untuk Provinsi Banten misalnya, di sana sini masih banyak ruas jalan, jembatan dan irigasi, yang menjadi kewenangan provinsi dalam hal pemeliharaan, perbaikan, maupun pembangunannya, dikeluhkan masyarakat, seperti Jalan Cikande-Rangkasbitung, jalur wisata Cilegon-Carita (yang disinggung sopir taxi di atas), dan lain sebagainya. Menurut saya, mestinya DPRD belum dulu banyak meminta, sebelum memberikan yang rakyat harapkan, terlebih kinerjanya hingga kini belum genap satu tahun. Artinya, keberpihakan untuk rakyatnya juga belum terlihat maksimal.
Kemudian untuk di Kabupaten Serang. Saat ini seluruh stakeholder pendidikan bingung menyikapi tentang masih banyaknya ruang kelas yang rusak. Belum lagi sekolah dasar (SD) yang kurang memiliki ruang kelas (yang seharusnya 6 kelas hanya ada 3 kelas, atau 4 kelas).
Seperti di SDN Babakan Masjid, Kecamatan Pamarayan, Kabupaten Serang, 163 siswanya dari kelas 1 hingga kelas 6, belajar di tiga kelas yang sama, dengan cara setiap kelas disekat dan diisi siswa kelas 1 dan 2, dan begitu seterusnya, termasuk kelas 5 dan kelas 6. Bagaimana akan terbentuk generasi berprestasi jika sarana pendidikan yang mereka rasakan tidak ideal. Dan berdasarkan catatan bahwa masih ada 443 sekolah dasar yang mengalami kekurangan ruang kelas. Total kekurangan dari jumlah SD tersebut, sebanyak 459 ruang kelas.
Kondisi buruk yang dialamai stake holder pendidikan di semua daerah yang masih memiliki bangunan sekolah rusak, tahun ini adalah dana alokasi khusus (DAK) yang biasanya ditetapkan pemerintah pusat bisa untuk rehab SD, kini tidak. Alokasi DAK tahun ini untuk membuat gedung perpustakaan, dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, dan untuk pengembangan IT. Pertanyaannya kemudian, dari mana dana untuk membangun ruang kelas yang kurang dan merehab ruang kelas yang rusak? Hingga kini tidak ada jawaban yang memuaskan. Siswa dan guru yang belajar dan mengajarnya masih di bangunan rusak, harus bersabar hingga mungkin bangunan sekolah ambruk karena kondisi kerusakannya teramat parah, karena APBD Pemkab Serang minim, pemprov tidak memberikan bantuan rehab SD, progam DAK juga bukan untuk itu.
Kalau saja wakil rakyat baik Provinsi Banten maupuan Kabupaten Serang mau bersabar untuk tidak dulu mengalokasikan dana untuk membeli atau mengganti mobil dinas, tetapi dialokasikan untuk bangunan SD, maka berapa ratus gedung SD yang bisa dibangun jika dana pembelian mobil dinas DPRD Rp 12, 7 miliar (semisal tersebut di atas), ditambah dana penggantian mobil pimpinan DPRD Kabupaten Serang Rp sebesar 1,5 miliar. Namun saya tidak yakin mereka (DPRD) mau melakukan itu. Minimal mereka beralasan, sudah tanggung teralokasikan dalam APBD. (*)

Romi & Solidaritas Sahabatnya

Oleh: Oji Faoji
Pada Sabtu 10 April siang lalu, tepatnya setelah jam sekolah selesai, Muhammad Romi, siswa SMPN 2 Anyer, Kabupaten Serang, Banten, keluar dari pintu gerbang sekolahnya yang terletak di Desa Kosambironyok, Kecamatan Anyer. Tidak seperti anak kebanyakan, Romi, putra ke-4 (satu-satunya laki-laki) dari 5 bersaudara, pasangan Asmadi dan Arnati, warga Kampung Baru, Desa Kosambironyok, Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang ini, justru digendong teman sekelasnya Agus Setiawan. dan setelah saya ikuti, ternyata Agus secara bergantian dengan Yayan Oktoviani sahabat sekelas lainnya, menggendong Romi dengan berjalan kaki yang jarak dari sekolah ke rumah Romi sekitar 4 kilometer. Cukup jauh, dan pastinya melelahkan untuk Agus dan Yayan.
Mengapa Romi harus digendong? Sedikit saya jelaskan.
Romi kini berusia 14 tahun. Sejak lahir ia sama sekali tidak bisa berjalan. Romi hanya mampu menempuh jarak yang sangat pendek dengan cara merangkak. Ini karena, Romi memiliki kelemahan fisik alias penyandang tuna daksa yang hanya mampu beraktivitas normal dengan tangan kanannya saja, karena kaki kirinya tidak ada, dan tangan kiri dan kaki kanannya lumpuh layu sejak lahir.
Tetapi dengan kondisinya yang sangat lemah itu, ada semangat yang terberuncah dalam dirinya untuk tetap mendapatkan pendidikan formal hingga kini duduk di kelas 1 SMPN 2 Anyer. Di kelasnya, Romi termasuk siswa berprestasi, karena ketekunannya belajar dan motivasinya untuk cerdas. Ia ingin kecerdasannya melebihi kawan-kawannya yang memiliki fisik normal.
Bukan hal mudah untuk Romi bisa mendapatkan pendidikan formal, karena Ibunya Arnati sempat tidak memperbolehkan Romi bersekolah, karena khawatir psikologinya terganggu jika kelak jadi bahan ledekan teman-teman sekelasnya. Romi justru berontak. Ia menangis karena ingin tetap melanjutkan pendidikannya ke jenjang lebih tinggi, dan tidak merasa puas jika hanya lulus di bangku sekolah dasar yang terletak di sekitar kediamannya.
Apa yang disebutkan di atas merupakan hasil wawancara dan pendalaman informasi tentang Romi dari sahabat sekelasnya, keluarganya, termasuk dari Kepala SMPN 2 Anyer Syahrudin Hasibuan.
Bahkan Hasibuan, panggilan akrab Syahrudin Hasibuan, Romi sangat peka. Ini diketahui ketika ia menginstruksikan langsung kepada siswanya untuk melakukan bersih-bersih lingkungan di hari Jumat. “Saya lihat, yang paling lebih dulu mengikuti ajakan saya adalah Romi. Ia cepat turun dari kursi yang didudukinya, kemudian merangkak ke luar kelas dan mengambil sampah-sampah yang berserakan untuk dipindahkan ke tempatnya. Saya sempat meneteskan air mata dengan jiwa besar Romi,” ujar Hasibuan belum lama ini.
Ini juga yang kemudian membuat Hasibuan merasa perlu menginformasikan tentang semangat belajar seorang Romi kepada halayak, guna mendapat perhatian semua pihak, terutama pemerintah dan kalangan berpunya, agar meski dengan kondisi fisik yang terlalu banyak kelemahan, Romi tetap bisa mendapatkan pendidikan hingga tingkat lebih tinggi.
Seharusnya, semangat Romi ini menginspirasi kita, terutama generasi muda di bawah atau di atas usianya, akan pentingnya belajar, mendapatkan pendidikan, dan pantang berputus asa, meski secara kasat mata (maaf) tidak ada yang diharapkan dari Romi yang demikian. Ternyata tidak, seorang Romi merasa sangat yakin memiliki harapan hidup ke depan untuk menjadi anak berguna. Dengan ketekunan dan kecerdasannya, mungkin kelak ia salah satu profesor terkemuka tidak hanya mashur di Indonesia, tetapi juga di dunia. Amin.

Arti Solidaritas Sahabat
Ada banyak hal yang patut memotivasi kita dari kisah nyata yang dialami Romi. Selain semangatnya yang menggunung dan tahan banting, ada juga arti solidaritas yang sulit ditemukan di dunia (pada jaman sekarang ini) dari dua sahabat sekelasnya, yaitu Agus dan Yayan.
Seperti pernah disinggung di atas, Agus dan Yayan rela mengorbankan dirinya hanya untuk mendampingi Romi. Bukan hanya mendampingi, tetapi memberikan tumpangan layaknya sarana transportasi. Tumpangan yang dimaksud, keduanya rela menggendong secara bergantian setiap hari dengan jarak dari rumah Romi ke sekolahnya berjarak sekitar 4 kilometer secara gratis dan tanpa pamrih. Ini adalah “tontotan” inspiratif yang menyiratkan tentang pentingnya arti solidaritas dan keikhlasan. Terlebih Agus, ia menggendong Romi sejak mereka sama-sama duduk di bangku sekolah dasar. Artinya hingga sekarang, Agus sudah 7 tahun menggendong Romi, tanpa imbal balik apapun. “Saya ikhlas melakukannya, karena Romi ingin sekolah,” tutur Agus, ketika saya tanya, belum lama ini.

Pelajaran Berharga & Bernilai
Kisah Romi dan sahabatnya (Agus dan Yayan), sekali lagi harus menjadi pelajaran berharga bagi kita. Karena mencari sosok yang sama dengan ketiganya tidak gampang di era globalisasi seperti sekarang ini, dimana setiap diri cenderung senang dengan sendirinya dan apatis terhadap orang lain. Perilaku individualisme secara perlahan sudah menjadi budaya dan sulit untuk dicerabut, karena kadung mengakar kuat.
Atas kegigihan Romi menimba ilmu, dan keikhlasan dua sahabatnya menghantarkan Romi untuk meraih mimpi-mimpinya menjadi seorang cerdas, membuat ketiganya menjadi bernilai. Hingga Kamis (13/5) lalu, bantuan untuk ketiganya terus mengalir.
Pertama unit kegiatan mahasiswa (UKM) KRR PMI Universitas Tirtayasa memberikan bantuan Rp 1,5 juta untuk kelanjutan pendidikan Romi, dan perangkat sekolah untuk ketiganya; kemudian dermawan Malaysia mengirimkan sebuah laptop (komputer jinjing) untuk Romi, agar tangan kanannya yang masih berfungsi bisa mengenalkan dirinya akan teknologi dan informasi. Diterangkan Hasibuan, bantuan terus mengalir, baik dari perusahaan yang ada di sekitar Anyer, donatur yang tidak ingin disebutkan namanya, termasuk dari anggota DPRD Kabupaten Serang yang membangun solidaritas di kalangannya dengan mengumpulkan uang secara kolektif untuk Romi dan sahabatnya. Total dana yang dapat dikumpulkan wakil rakyat itu Rp 2.682.000 dan dari Pemkab Serang melalui Bagian Kesra Kabupaten Serang Rp 2,5 juta. Uang sebesar itu dibagi tiga, yakni untuk Romi Rp 3.682.000 dan untuk dua sahabatnya Rp 1,5 juta, atau masing-masing Rp 750 ribu. Dana itu untuk tabungan pendidikan mereka kelak. Kemudian seorang dokter dari Jakarta juga mengirimkan kursi roda buat Romi. Hanya saja kursi tersebut belum bisa digunakan, karena jalan menuju rumah Romi menanjak dan menurun, sementara di sekolahnya juga tidak mendukung, karena arealnya masih tanah dan belum difasilitasi paving blok.
Terakhir, karena kisah Romi dan sahabatnya ini dinilai sangat inspiratif, Gol A Gong (penulis ternama), dan rekannya ingin mengambil ceritanya menjadi sebuah film yang harapannya mungkin bisa memotivasi generasi muda yang saat ini lebih senang dengan hiruk-pikuk kehidupan yang kurang bermakna untuk lebih baik lagi. (*)

Pintu Perlintasan KA Banyak yang Rusak

CILEGON – Pengguna jalan perlu berhati-hati saat melalui jalur perlintasi kereta api. Ini terjadi karena selain banyak jalur lintasan yang belum memiliki palang pintu, yang terdapat palang pintu pun kondisinya banyak yang sudah rusak dan tidak terawat.
Berdasarkan pantauan, jalur lintasan kereta api di Lingkungan Ketileng, Kelurahan Jombang Wetan, Kecamatan Jombang, tidak memiliki pintu rel kereta api sama sekali. Kondisi serupa juga terlihat di kawasan Pelabuhan Merak, padahal kawasan tersebut termasuk jalur lalu lintas padat.
Warga Lingkungan Ketileng, Wahyu (33), yang juga pemilik bengkel di sekitar perlintasan kereta Ketileng mengatakan, jalur perlintasan terebut pernah memakan banyak korban. Pada tahun 2009, kata wahyu, ia menyaksikan beberapa kendaraan yang tertabrak hingga pengendaranya tewas saat melintasi pintu rel kereta api tersebut.
“Seingat saya sudah ada dua mobil dan beberapa motor yang tertabrak kereta api tahun lalu. Rata-rata tewas,” kata Wahyu.
Dia menambahkan, kebanyakan kecelakaan terjadi akibat pengendara motor dan mobil tidak mengengetahui akan adanya kereta yang akan melintas.
Sementara itu saat dikonfirmasi, Kepala stasiun PT Kereta Api Indonesia (KAI) Cilegon Rahmat Gunadi mengakui bahwa pintu-pintu kereta api yang rusak hingga kini belum diperbaiki. “Pintu rel masih rusak karena pihak PT KA belum memiliki badan usaha khusus menangani kerusakan sarana dan prasarana. Ketika perusahaan belum memiliki badan usaha tersebut, maka yang bertanggung jawab dalam pemeliharaannya adalah oleh pemerintah daerah,” kata Rahmat.
Terpisah, Kanitlakalantas Polres Cilegon Ipda Andhika Aris Prasetio mengatakan, pihaknya sudah beberapa kali menyurati pihak Pemkot Cilegon untuk memasang dan memperbaiki pintu kereta yang rusak. “Kami juga telah memasangkan rambu hati-hati di beberapa perlintasan kereta api yang dianggap rawan kecelakan,” ujarnya. (oji)

Waspadai Bencana Industri Kimia


CILEGON – Bencana industri kimia di Kota Cilegon patut diwaspadai. Tindakan kewaspadaan perlu dilakukan secara sinergis dan terkoordinasi. Demikian terungkap dalam workshop Crisis Center Industri Cilegon di Aula Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Cilegon, Rabu (30/6).
Hadir sebagai peserta, dari unsur aparat kepolisian, TNI, petugas pemadam kebakaran, Satpol PP, Tagana, palang merah Indonesia (PMI), perwakilan perusahaan dan instansi terkait.
Utun Sutrisna salah satu narasumber dari CMA Chemical Manufactures Association (CMA) menyebutkan sejumlah aktivitas yang bisa berbahaya dan menyebabkan bencana industri kimia, di antaranya saat bongkar muat bahan mengandung berbahaya dan beracun (B3); penyimpanan B3 ribuan ton bahan kimia di lokasi penimbunan seperti pabrik, terhadap kejadian alam seperti banjir, kebakaran, atau gempa bumi sebagai dampak dari letusan gunung berapi; dan proses produksi saat terjadi gangguan supply energy, saat terjadi gempa/tsunami. “Potensi ancaman bencana selalu ada. Karena itu, pabrik kimia perlu selalu mengurangi risiko aktivitas sekecil mungkin, misalnya dengan penerapan teknologi yang mendahulukan keamanan operasi, pelaksanaan prosedur kerja yang aman dan lainnya,” ujar Utun.
Jika terjadi gempa, kata Utun, masyarakat jangan sekali-kali mendekati pabrik dengan alasan apapun, dan jika tercium bau gas atau terlihat adanya penyebaran gas, gunakan kain basah untuk menutupi hidung, setelah itu mengungsi ke tempat aman. “Bila terjadi tsunami, masyarakat dilarang keras memasuki daerah rendaman atau kawasan pabrik kimia, tanpa kawalan otoritas,” tutur Utun seraya menambahkan, kimia sangat berbahaya karena baik cairan maupun gas menimbulkan ledakan, dan membuat iritasi.
Mewakili Kantor Pusat Pengendali Operasi (Kapusdalop) Rasmi Widyani, yang juga Kabid Pengendalian Lingkungan Hidup pada Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Cilegon mengatakan, kapusdalop adalah organisasi yang bertanggung jawab sebagai pengelola informasi, sekaligus berfungsi sebagai pengendali koordinasi antara instansi dan lembaga, baik pemerintah maupun masyarakat untuk penanganan bencana di Cilegon. “Di antaranya bertugas melakukan pengawasan proaktif terhadap status potensi bencana melalui alat pengawasan bencana dan sumber informasinya. Kami juga telah memasang CCTV dan sirine sebagai langkah antisipatif, meskipun masih belum lengkap,” ujar Rasmi yang juga mengatakan bencana industri kimia cukup berbahaya. (oji)

Investor Spekulan Diakui Ada di Cilegon

CILEGON – Sebagai daerah yang memiliki kawasan industri, Pemkot Cilegon perlu berhati-hati dengan investor spekulan, atau pihak yang hanya berspekluasi untuk mendapat keuntungan diluar investasi yang ditanam. Misalnya investor membuat permohonan perizinan untuk mendirikan pabrik tertentu, tetapi pada perjalanannya tanpa ada realisasi dan membiarkan tanahnya kosong. Tanah kosong itu justru dijadikan jaminan untuk mendapatkan sejumlah uang kepada perbankan.
Kepala Seksi Fasilitasi dan Pengendalian pada Kantor Penanaman Modal (KPM) Kota Cilegon Hari Talman membenarkan adanya investor spekulan seperti tersebut di atas.
“Memang benar, ada juga investor spekulan. Mereka mendapatkan keuntungan bukan karena hasil usaha berupa pembangunan perusahaan hingga berproduksi, tetapi lahan yang dikuasainya itu digunakan untuk jaminan meminjam sejumlah uang kepada perbankan. Nilainya bisa mencapai miliaran rupiah dan bisa melebihi penguasaan atas lahan yang dimohonkan,” ujar Hari, tanpa merinci jumlahnya, Rabu (30/6).
Ketika itu, Hari yang mewakili Kepala KPM Nur Fatmah ditanya terkait perusahaan yang berencana membuat perusahaan, tetapi dalam jangka waktu yang panjang lahan yang dikuasainya ditinggalkan begitu saja, sehingga menjadi lahan tidur. Cilegon, imbuh Hari, memiliki kawasan industri yang menjadi primadona bagi investor. Dari yang spekulan itu, banyak juga yang benar-benar merealisasikan usahanya sehingga menambah pendapatan daerah dan meningkatkan jumlah pekerja. “Kalau investor spekulan, bukan hanya warga dan pemerintah yang dirugikan karena kehilangan potensi pendapatan daerah. Perbankan bisa lebih dirugikan lagi, karena biasanya investor spekulan itu akhirnya sulit dideteksi dan hanya meninggalkan lahan yang dikuasainya.”
Untuk mengantisipasinya, imbuh Hari, pihaknya pasti melayangkan surat teguran kepada investor yang belum beraktivitas selama 3 tahun, kemudian diberikan kesempatan 1 tahun untuk benar-benar merealisasikannya. “Tetapi jika tidak juga, kami hentikan segala proses perizinannya,” ujar Hari.
Disinggung terkait telah adanya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Telantar, Hari mengaku bersyukur.
Sebelumnya diberitakan, Sekretaris Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) Kota Cilegon Akhmad Junaidi Baqo mendukung upaya pemerintah yang akan menertibkan lahan industi yang telantar, hingga bisa dikuasai negara, dengan alasan terdapat investor yang membiarkan lahannya kosong di kawasan industri yang berpotensi menambah pendapatan daerah, menekan angka pengangguran, dan mengembangkan perekonomian di Kota Cilegon. (oji)